Monday, May 7, 2007

Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia

Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia

oleh Abdul Munir Mulkhan

MADRASAH, juga pendidikan Islam lainnya, terus menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara kebutuhan keagamaan dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama.Selama ini, umat Islam meyakini, ajaran Islam telah selesai disusun tuntas dalam ilmu agama sebagai panduan penyelesaian seluruh persoalan kehidupan duniawi. Sementara, ilmu-ilmu umum (non-agama) dipandang bertentangan dengan ilmu agama akan membuat kesengsaraan umat Islam. Namun, persoalan kehidupan duniawi yang terus berkembang, ternyata tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu-ilmu agama.

Oleh karena itu, sejak madrasah dikembangkan bersamaan munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, kurikulum madrasah terus berubah. Awalnya, kurikulum madrasah hanya terdiri dari ilmu agama. Bentuk madrasah dikenal dengan madrasah diniyah yang telah ada sejak abad-abad pertama sejarah Islam di Timur Tengah.

Ilmu umum, baru meluas dipelajari di madrasah, terutama sejak kemerdekaan tahun 1945. Posisi ilmu umum terus menguat searah perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Madrasah itu kini disebut sebagai sekolah umum berciri khas agama di mana ilmu agama hanya menjadi bagian kecil kurikulum lembaga ini.

PERUBAHAN kurikulum madrasah itu lebih didasari kebutuhan masyarakat pengguna jasa madrasah. Munculnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah memberi legitimasi teologis perubahan kurikulum madrasah. Dari sini mulai berkembang gagasan integrasi ilmu agama dan iptek yang selama ini dikelompokkan ke dalam ilmu umum atau ilmu sekuler. Muncul kemudian berbagai model madrasah terpadu yang mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama ke dalam satuan kurikulum madrasah.

Usaha integrasi kedua sistem ilmu (ilmu agama dan ilmu umum) hanya akan menambah persoalan madrasah makin ruwet. Ini disebabkan belum tersusunnya konsep ilmu integral yang ilmiah yang mampu mengatasi dikotomi ilmu umum dan agama itu sendiri. Integrasi kurikulum madrasah tidak lebih sebagai penggabungan dua sistem ilmu tanpa konsep. Akibatnya, tujuan praktis untuk meningkatkan daya saing lulusan madrasah dengan sekolah umum, menjadi sulit dipenuhi.

Penggabungan kedua ilmu dengan sistem kebenaran dan metodologi berbeda, justru bisa menumbuhkan sikap ambivalen peserta didik dan bisa mengganggu perkembangan jiwanya. Selain itu, penggabungan ilmu dalam sistem kurikulum madrasah telah menyebabkan peserta didik keberatan beban dari yang seharusnya bisa mereka pikul. Akibat lebih lanjut ialah pengembangan kemampuan peserta didik dalam menguasai ilmu yang terkesan lambat dan hasil belajar yang cenderung rendah.

Problem integrasi ilmu dalam sistem madrasah dan tujuan praktis peningkatan daya saing lulusannya, lebih sulit dipecahkan karena pada saat yang sama, lembaga ini harus memenuhi tujuan yang disusun pada dataran metafisik. Seluruh model pendidikan Islam; pesantren, sekolah Islam dan pendidikan agama Islam di sekolah umum, bertujuan utama membentuk pribadi Muslim yang takwa, berakhlak mulia, cerdas dan terampil. Tujuan ini berlaku bagi semua tingkat dan jenis pendidikan Islam, termasuk madrasah itu sendiri.

Ironinya, hingga kini, selain evaluasi tujuan cerdas dan terampil, belum pernah ada sistem evaluasi yang bisa dijadikan ukuran apakah ketakwaan, kepribadian Muslim, dan akhlak mulia telah dicapai. Evaluasi tujuan metafisik ini seperti model evaluasi lain, terfokus pada kemampuan kognisi peserta didik atas ilmu-ilmu agama tanpa teori yang bisa menjelaskan hubungan antara penguasaan ilmu agama dengan kepribadian Muslim, ketakwaan, dan akhlak mulia itu.

Oleh karena itu, rekonstruksi dan sistematisasi tujuan metafisik pendidikan Islam, seperti madrasah, secara pragmatis, merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Sekitar tahun 1950-an, sebenarnya sudah muncul gagasan dari persatuan guru agama di Yogyakarta dalam memenuhi tuntutan itu. Di tingkat dasar, tujuan pendidikan lebih difokuskan pada kemampuan peserta didik untuk mengamalkan berbagai praktik ibadah. Pada jenjang lebih tinggi, mulai dikembangkan. Sayang, gagasan ini tidak mendapat respons, sehingga tujuan pendidikan Islam di semua jenjang dan jenis, hingga kini tetap diletakkan pada tujuan metafisik seperti di atas.

Kesulitan utama rekonstruksi pragmatis tujuan madrasah, seperti tujuan pendidikan Islam, adalah akibat kecenderungan ideologisasi dan teologisasi ilmu-ilmu Islam. Ilmu Islam diidentikkan sebagai Islam itu sendiri, sehingga kebenarannya diyakini bersifat mutlak yang berlaku universal. Akibatnya, ilmu selain ilmu Islam, sering disebut ilmu umum atau sekuler, dipandang sesat dan haram dipelajari. Ini bertentangan dengan fakta, hampir tidak mungkin berbagai jenis dan model pendidikan Islam, seperti madrasah, dikelola kecuali memanfaatkan jasa ilmu-ilmu sekuler itu.

Kecenderungan itu juga tampak dari gerakan sosial dan politik Islam dalam memainkan peran lebih fungsional dalam sistem sosial dan politik nasional. Hal ini bisa dilihat dari tuntutan memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 dan tuntutan pemberlakuan syariat Islam dalam sistem politik nasional. Umat Islam tampak kesulitan membedakan syariat Islam sebagai ilmu yang disusun ulama sebagai tafsir atas wahyu, dan syariat Islam sebagai ajaran Tuhan dalam wahyu yang termaktub dalam Al Quran. Islam lalu mengalami penyempitan menjadi hanya ilmu syariah dan ilmu-ilmu Islam lainnya.

Oleh karena itu, sudah waktunya dikotomisasi ilmu Islam dan ilmu umum secara ideologis dan teologis, dicairkan bukan dengan Islamisasi ilmu-ilmu umum, tetapi melalui peletakan semua ilmu dalam sebuah sistem kebenaran dan metodologi. Suatu ilmu ditolak hanya jika ilmu itu ternyata salah. Sebaliknya, jika terbukti benar, bukan karena ada hubungan dengan sumber teks Al Quran dan Sunnah Nabi.

HANYA ada satu sistem ilmu yang benar yaitu ilmu Islam. Namun perlu disadari, tingkat kebenaran ilmu hanya mungkin benar, bukan mutlak benar seperti wahyu. Selanjutnya baru mungkin dilakukan integrasi ilmu melalui proses uji kebenaran ilmu yang selama ini disebut ilmu sekuler. Hasil uji ini pun perlu diletakkan dalam tanda kutip, karena hanya mungkin benar. Dari sini baru bisa dilakukan pengembangan madrasah dengan sebuah sistem kurikulum yang tidak lagi harus memilih antara ilmu umum dan ilmu sekuler atau ilmu agama. Demikian pula dengan keharusan memilih ketaatan pada ajaran Islam yang tersusun dalam ilmu-ilmu agama dan kepentingan duniawi.

Oleh karena itu, ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam sepanjang didukung bukti kebenarannya. Ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang selama ini disebut dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri tanpa pemberian label ilmu agama. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui studi sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola penuturan Al Quran, bukan hanya dengan menguasai teori tentang Tuhan seperti tersusun dalam ilmu tauhid.

Soalnya apakah umat Islam bersedia dan berani membebaskan diri dari ideologisasi ilmu-ilmu Islam yang selama ini ditempatkan sebagai satu-satunya ilmu yang benar secara teologis. Jika seluruh realitas diyakini sebagai ciptaan Tuhan, maka semua ilmu adalah Islam karena ilmu adalah konsep tentang realitas alam, sosial dan humaniora.

Risiko dari pandangan ini ialah tidak mungkinnya lagi umat Islam melakukan klaim sepihak, ilmu tertentu sebagai Islam, sistem pendidikan tertentu sebagai sistem pendidikan Islam, dan sistem sosial tertentu sebagai Islam, sementara yang lain bukan Islam. Melalui cara ini, justru Islam akan benar-benar ditempatkan sebagai akar semua ilmu, sistem pendidikan, dan sistem sosial.

Oleh karena itu, penyebutan madrasah sebagai sekolah umum berciri khusus agama, seharusnya bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif. Penyebutan demikian merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis yang tidak lagi meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer nilai, tetapi media belajar hidup yang terus dikembangkan dan didaur ulang.

Penulis adalah Dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pengamat sosial-keagamaan.
Tulisan ini dikutip dari KCM, edisi Jumat,
23 November 2001

http://www.pesantrenonline.com/artikel/detailartikel.php3?artikel=101

No comments: